Jumat, 17 Mei 2013

Buddha Hendak Menyelamatkan Dirimu 04




Hati Awam Adalah Hati Buddha

Ada seorang sahabat Dharma yang menderita kanker stadium akhir, dia sudah banyak bersumbangsih dalam organisasi, juga rajin mempelajari ajaran Buddha, para sahabat Dharma lainnya sangat simpati dan berharap agar dia dapat terlahir ke Alam Sukhavati tanpa rintangan, maka itu mereka bergiliran siang malam menemaninya melafal Amituofo.

Sahabat Dharma ini memiliki seorang anak yang sedang berada di luar negeri. Karena mengetahui penyakitnya sudah darurat, dia ingin sekali bertemu anaknya. Sesungguhnya dengan pengalaman nya dalam mempelajari ajaran, dia juga tahu bahwa anak dan cucu memiliki berkah tersendiri, tak perlu dirisaukan. Dia selalu mendengar ceramah Dharma, mengerti bahwa menjelang ajal harus merelakan kerinduan pada putra putrinya, menfokuskan diri melafal Amituofo, namun dia tidak dapat menahan diri, merindukan putranya, menangis dalam kesedihan yang mendalam.

Para sahabat Dharma lainnya khawatir jika dia akan kehilangan pikiran benar saat ajal, sehingga menyia-nyiakan masalah terbesar dalam hidupnya, sehingga buru-buru menasehatinya untuk “merelakan anaknya yang berada di luar negeri”, bahkan ada yang terlalu peduli padanya sehingga berkata : “Ini sudah waktu apa? Cepatlah melafal Amituofo, jangan lagi memikirkan anakmu! Cepat merelakan semuanya termasuk anakmu!”

Ucapan ini memang benar adanya karena saat ajal jika pikiran sesat sesaat saja, maka harus bertumimbal lahir lagi! Maka kita tidak bisa menyalahkan sahabat Dharma yang menasehatinya dengan cemas, namun dengan kondisi nya pada saat itu, ucapan ini justru membuatnya lebih tertekan, sehingga dia membuat perlawanan! Inilah ketidakberdayaan manusia. Perasaan nya bergejolak terus sampai-sampai tidak ingin lagi mendengar orang membantunya melafal Amituofo, sehingga mengusir sahabat Dharma yang ingin menemaninya melafal Amituofo.

Sesungguhnya, apakah ada manfaatnya dengan bertindak demikian? Hanya karena tidak ada yang memahami perasaannya! Baginya suara lafalan Amituofo dari teman-teman nya adalah sedang “menyalahkan” dirinya, bukan suara maitri karuna.

Pada saat itu, teman-teman nya yang sedang dilanda kecemasan segera datang mencari saya. Cinta duniawi sungguh membuat manusia tak berdaya, justru karena penderitaan dari kejatuhan ini barulah mengerti akan “Buddha Amitabha tak mengeluh akan kekurangan diriku, maitri karuna Nya yang pasti harus menyelamatkan diriku”. Sungguh kita harus berterimakasih pada Nya.

Saya hanyalah seorang praktisi awam karena itu saya tidak merasa aneh pada masalah ini, hanya saja merasa ini adalah ketidakberdayaan manusia pada rasa cinta. Namun kita tetap harus bersukacita karena dalam cinta tersebut, “hati Buddha” tidak kehilangan, hanya karena tersembunyi maka tak muncul.

Kalimat “hati awam adalah hati Buddha” memberiku petunjuk untuk menyelesaikan masalah ini.

Saya turut peduli pada anaknya yang berada di kejauhan, kemudian berkata padanya : “Dari kasih sayangmu pada anakmu, maka saya dapat mengetahui anda adalah seorang ayah yang penuh welas asih,  dengan kondisi anda ini tentunya dapat memahami hati Ayahanda Buddha Amitabha yang sangat merindukan kita! Mendengar ucapan ini dia jadi diam sejenak dan airmata nya mulai mengalir, dalam sekejab hatinya kembali pada “Amituofo”.

Gelembung air dan lautan luas tidaklah terpisah, hati awam dan hati Buddha juga tak terpisah. Dalam Amitayur-dhyana Sutra tertera : “Jarak Buddha Amitabha dari sini tidaklah jauh”. Hati awam adalah hati Buddha. Dari hati awam yang merindukan anaknya, sesungguhnya dari sebersit niat tersebut, dapat melompat pada maha maitri maha karuna Nya Buddha Amitabha, maka sebersit niat ini telah berada pada “Buddha”, sebersit niat pikiran ini pula telah menyatukan si gelembung air ke dalam lautan luas! Master Ou-yi berkata : “Walaupun saya jatuh dalam kebingungan, asalkan sebersit pikiran tersadarkan, maka pasti dapat terlahir ke Alam Sukhavati”.

Tentu saja masalah ajal adalah hal yang mencemaskan, namun nada bicara tidak boleh terlalu mendesak, tak perlu baru berkunjung sudah terburu-buru berkata : “Anda harus lekas merelakan semuanya! Cepatlah lahir ke Alam Sukhavati!”

Pada umumnya setiap insan memang begitu, semakin anda mendesaknya, maka dia akan semakin tegang. Seperti dongeng masa kecil yang mengisahkan : Angin dan mentari sedang berlomba siapa yang paling cepat memaksa si pejalan kaki melepaskan jaketnya? Pertama si angin berusaha keras meniupi jaket si pejalan kaki, namun karena angin yang berhembus semakin lama makin dingin, si pejalan kaki semakin merapatkan jaketnya, bagaimana pun usaha angin tetaplah sia-sia. Sedangkan mentari yang dengan santai hanya memancarkan sebersit sinar, pejalan kaki langsung merasa hangat dan melepaskan jaketnya.

Dalam keseharian hanya sebuah hal sepele saja kita tidak mampu merelakan, bagaimana mungkin bisa menyuruh orang lain melepaskan segalanya langsung di saat ajalnya!

Kondisi seseorang saat menjelang ajal adalah sulit, sungguh tidak mudah, maka itu waktu memberi nasehat atau anjuran, sikap dan nada bicara harus disesuaikan, harus membandingkan dengan diri sendiri, jangan tergesa-gesa. Jangan menganggap diri sendiri adalah “guru sesepuh”, sekali berkunjung maka beres semuanya, mengajari orang, mengucapkan kalimat yang diri sendiri saja tidak mampu mengamalkannya.

Dikutip dari buku “Buddha Hendak Menyelamatkan Dirimu”karya Master Dao-zheng